Banda: The Dark Forgotten Trail - Review


Sutradara: Jay Subiakto || Naskah: Irfan Ramli || Narator: Reza Rahardian (Bahasa Indonesia), Ario Bayu (Bahasa Inggris) 

Bagaimana kita di masa lalu, siapa kita sekarang, dan seperti apa kita di masa depan?

Hari ini, 28 Juli 2017, Saya berkesempatan untuk menonton pemutaran perdana film Banda: The Dark Forgotten Trail di CGV Rumah Film Indonesia, JWalk, Yogyakarta. Setelahnya, kami berkesampatan untuk mendengarkan langsung cerita dari proses pembuatan film dan tujuan film ini oleh Sutradara Jay Subiyakto dan penulis naskah Irfan Ramli. Namun bagaimana pendapat tentang film ini? Oke langsung saja.

Film Banda adalah film dokumenter. Jujur, saya hanya sempat beberapa kali menonton film dokumenter sebelum nonton film Banda ini. Mungkin juga pengetahuan saya terbatas tentang film dokumenter. Namun, saya bisa berkata bahwa Banda: The Dark Forgotten Trail adalah film dokumenter favorit saya. Dalam tulisan ini, saya akan berikan beberapa alasan mengapa film ini jadi favorit saya. Kalau malas baca, bisa langsung skip ke kesimpulan saja 👇

Alasan pertama adalah visual film. Ya, film ini bergenre dokumenter tapi flm ini sangat dinamis. Gambar begitu cepat bertransisi. Dan menurut saya itu bukan hal buruk, malah suatu keunggulan untuk film bergenre dokumenter. Selain itu cinematography film ini sangat bagus. Dari awal, penonton disuguhkan keindahan pulau-pulau Banda beserta alamnya yang luar biasa. Pengambilan gambar gunung, laut, beserta peninggalan sejarah yang ada di pulau Banda ter-capture dengan baik dan memberikan kepuasan saat melihatnya. Satu lagi, yang tidak kalah keren, animasi yang digunakan untuk ilustrasi cerita juga benar-benar mendukung. Animasinya simple, namun justru kesederhanaan itu yang dibutuhkan untuk mendukung narasi yang cenderung puitis.

Tone gambar dalam film ini cenderung gelap. Awalnya saya sedikit mengeluhkan hal ini, namun sepertinya memang itu yang ingin disampaikan oleh para kreator film ini. Judulnya saja The Dark Forgotten Trail. Memang cerita yang diangkat juga cenderung mengenai sejarah kelam dan kejayaan yang terlupakan. Jadi, pikir saya, lagi, sudah tepat penggunaan tone yang gelap ini.

Alasan kedua adalah cerita. Film ini adalah film dokumenter dengan rentang waktu yang luas. Bahkan narasi film ini dimulai dari perburuan rempah yang digambarkan dengan buah pala sebagai keunggulan dari pulau Banda. Buah pala adalah 'harta' yang dulu pernah membuat Banda menjadi pusat ekonomi dunia. Selain sejarah 'lampau' itu, film ini juga mengangkat cerita zaman penjajahan oleh VOC di sana, hingga kerusuhan yang diakibatkan oleh isu sara di Maluku. Tidak berhenti disitu, cerita masih berlanjut hingga keadaan Banda saat ini.

Ceritanya sangat lengkap. Banyak isu yang disinggung pada film ini, seperti ekonomi, sejarah, masyarakat multikultural, dan budayanya. Untuk itu, saya sangat merekomendasikan film ini. Terutama bagi generasi millennial seperti kita.

Jangan takut bosan saat menonton film ini. Kenapa? karena walaupun ini film dokumenter yang pastinya memuat sejarah namun cara penyampaian cerita di film ini tidak akan membuatmu bosan. Ceritanya dinarasikan oleh Reza Rahardian. Bukan, bukan Reza yang akan saya unggulkan, walaupun ya memang Ia bagus menarasikan cerita film ini. Yang saya unggulkan adalah narasinya. Bedakan narasi dan narator ya. Narasinya sangat bagus, bahasa yang digunakan sangat mudah untuk diikuti dan dipahami bahkan sedikit puitis. Menarik.

Alasan ketiga adalah musik. Maestoso dan modern. Musik dalam film ini megah dan sangat dinamis seiring dengan penyuntingan gambar. Mungkin background dari mas Jay Subiakto sebagai sutradara video musik yang membuat visual dan musik disini sangat padu. Sebelumnya saya mengatakan bahwa animasi mendukung narasi, namun apa jadinya kalau tidak didukung musik yang apik. Bukan hanya pelengkap, scoring di film ini adalah keunggulan tersendiri sehingga membuat film Banda lebih berkesan.

Cukup tiga faktor di atas yang menjadi indikator saya apakah sebuah film itu layak saya favoritkan atau tidak. Dan dari ketiga faktor itu pula Film Banda ini telah masuk dalam kriteria film favorit saya. Visual memuaskan, cerita tidak membosankan dan musik/scoring yang meninggalkan kesan.

Oke. kesimpulan.

Film Banda: The Dark Forgotten Trail secara umum adalah film dokumenter yang digarap berbeda dari dokumenter lain and that is a good thing! Gambar yang dinamis dengan cinematography yang keren, cerita yang luas, musik yang menggelegar dan membangun kesan adalah keungguulan film Banda. Dokumenter ini terlihat modern. Narasi puitis dengan narator Reza Rahardian adalah keunggulan lainnya.

Banda The Dark Forgotten Trail adalah pembuka katup-katup pengetahuan kita, generasi millennial, tentang sejarah kekayaan alam dan kejayaan Indonesia dimasa lampau, terutama Banda, yang telah terputus oleh waktu dan akhirnya terlupakan. Disaat bersamaan, film ini menyampaikan kisah yang lain tentang sejarah yang tidak hanya terjadi di Banda, namun juga daerah lain di Indonesia.

Jadi, tidak ada alasan untuk melewatkan film ini. Saya pun mungkin akan menonton Banda lagi pada tanggal 3 Agustus nanti. Pastikan kalian siap dan nonton tanggal 3 Agustus nanti, karena kata mas Jay, hanya 16 layar yang disediakan untuk film ini di seluruh Indonesia.

Kesimpulan Score: 8.5

Komentar

  1. Btw yang nge-review beda orang ya. Gaya penulisan nya kaya beda dari sebelumnya. Atau perasaan aja kali ya. Hehe

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Attraction (2017) - Review

Kimi No Na Wa (Your Name) - Review

The Great Wall - Review