Battleship Island - Review (Spoiler, Duh!)




"Dunkirk versi tidak pelit dialog!"

Satu lagi film perang yang saya tonton pada tahun ini. Setelah Dunkirk, saya jadi tertarik untuk nonton Battleship Island. Kenapa? karena latarnya sama, situasi Perang Dunia II. Memang berbeda tempat, namun dua film tersebut sama-sama mengangkat kisah nyata serta sejarah kemerdekaan Korea atas Jepang. Saya juga bisa mengatakan bahwa film ini terasa seperti menonton Dunkirk tetapi dengan banyak dialog dan visual yang berani menayangkan darah dan bagian-bagian tubuh manusia korban perang. Baiklah saya akan review satu persatu berdasarkan kesan saya.

Situasi perang adalah situasi yang tidak pernah saya harapkan terjadi. Kita, khususnya saya adalah generasi yang sangat beruntung karena tidak pernah merasakan perang. Sejauh ini kita hanya tahu gambaran perang melalui media dan film. Banyak kengerian yang terjadi di sana. Begitu pula pada film ini. Battleship Island adalah film yang menggambarkan situasi perang yang menegangkan pada para penonton.

http://screenanarchy.com/assets_c/2017/07/2017%20-%20The%20Battleship%20Island-thumb-860xauto-67698.jpg

Dari awal film, kita sudah dibuat tegang dengan adegan para pekerja pertambangan yang mana adalah rakyat Korea yang menjadi romusha bagi Jepang, di pulau Hashima. Ya, tidak hanya di Indonesia, Jepang pun memperlakukan orang-orang 'asing' sebagai pekerja yang tidak mengenal waktu. Pada scene pembuka ini, diceritakan para pemuda Korea yang dipaksa bekerja di bawah tanah/laut sebagai pekerja pertambangan dengan segala resiko yang harus ditanggung masing-masing pekerja. Tidak ada jaminan di sana. Sampai pada akhirnya jatuh korban seorang pemuda korea. Hal ini membuat beberapa pemuda lain berencana untuk melarikan diri dari pulau tersebut. Namun pada akhirnya mereka pun gagal, walaupun telah berhasil keluar dari pulau itu. Secuil adegan di awal film ini sudah bisa sedikit memberikan gambaran akan seperti apa film ini  berlangsung.


Terdapat sekitar 4 tokoh dengan cerita berbeda-beda yang membentuk plot-plot cerita masing-masing. 4 tokoh itu adalah Lee Kang-ok (Jung-min Hwan) yang diceritakan sebagai Bandmaster yang memiliki seorang anak perempuan, So-Hee (Su-an Kim), dan mempunyai tujuan untuk membawa putrinya ke tempat yang lebih aman. Selanjutnya Choi Chil-sung (So Ji-Sub), seorang street fighter yang selalu bermasalah, but he has a good heart. Kemudian Oh Mal-nyeon (Lee Jung-Hyun), seorang wanita yang dijebak mucikari setelah sebelumnya mendapat perlakuan tidak menyenangkan oleh para tentara Jepang. Terakhir, Park Moo-young (Song Joong-ki) adalah seorang anggota dari semacam organisasi gerakan kemerdekaan Korea.

Empat tokoh tersebut memiliki latar belakang cerita yang berbeda-beda, namun mereka semua 'dijebak' agar bekerja sebagai pekerja di pulau Hashima. Laki-laki dipaksa jadi pekerja tambang, yang perempuan dipaksa untuk jadi 'Jugun Ianfu' atau budak seks orang-orang Jepang dan Korea yang mendukung Jepang. Kejam! Kekejaman itu sudah bisa dilihat dari bagaimana para tentara Jepang memukuli orang-orang Korea yang tidak tahu apa-apa, juga dijebak di atas kapal. Belum lagi, mereka memisahkan para laki-laki dan wanita. Tidak terkecuali putri Lee Kang-ok. Dilema yang menyedihkan bagi Lee Kang: tidak ingin berpisah dengan putri tunggalnya itu, namun Ia tidak bisa berbuat apa-apa karena dipukuli oleh tentara Jepang. Ini baru permulaan dari berbagai macam kekejaman yang dilakukan pihak Jepang pada orang-orang Korea.

Film ini tidak hanya menyajikan kengerian perang, namun juga terdapat humor sebagai nafas cerita ini. Sebagai nafas, film ini juga menyuguhkan scene permainan musik oleh Lee Kang-ok dan teman-temannya. Oh, I loved it! (walaupun lagunya saya gak ngerti). Saya juga sangat suka karakter So-Hee, di tengah situasi perang, film ini menghadirkan sosok menggemaskan yang juga menyenangkan. Terkadang So-Hee juga jadi karakter yang membawa suasana haru pada cerita. Bagian humor ini juga (sepertinya, kalau tidak salah ingat) ada terselip dark humor di sana, namun dalam porsi sangat sedikit.

Tempo film ini juga terasa pas, diawal cepat, ditengah melambat dan diakhir dibawakan dengan cukup cepat. Bagian akhir film adalah yang sangat menegangkan, mungkin jadi salah satu favorit saya. Ada satu lagi scene favorit saya, yaitu ketika Park Moo-young mengungkap konspirasi tetua pekerja Korea di sana. Saling fitnah, saling adu pendapat, berlomba memenangkan kepercayaan pekerja lain, pada suasana genting, kacau! hahaha.



Satu lagi, visual pada film ini terlihat keren. Visual Effect sangat cukup mulus untuk menggambarkan Hashima Island perlu kematang dan biaya yang cukup besar. Dan untuk itu, saya pikir Seung-wan Ryoo (Director) telah sukses memaksimalkan set untuk telihat sebagai pulau Hashima. Selain itu, cinematography film ini juga terlihat sangat apik.


Terakhir, kenapa di awal saya membandingkan dengan Dunkirk? Karena somehow film ini secara cerita mengingatkan saya pada Dunkirk, salah satunya di mana film ini menghadirkan 4 tokoh dengan cerita berbeda-beda pada situasi yang sama, namun saya melihat tidak ada karakter yang diunggulkan pada film ini. Semua tokoh memiliki cerita masing-masing, punya perjuangan masing-masing dan untuk saya itu merupakan hal menarik yang tidak membuat bosan saat menonton film ini.

Jadi, nonton lah kalian film ini. Saya rekomendasikan. Saya jamin gak akan kalian bosen nonton film ini, mungkin sedikit aja di bagian tengah. Selebihnya kalian akan menikmati jalannya cerita. Oh iya, peringatan Graphic! Bagi kalian yang gak bisa liat disturbing picture, ya siap-siap agak keganggu. Selebihnya, silahkan nikmati wajah ganteng aktor-aktor Korea.

Kesimpulan score: 7.5

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Attraction (2017) - Review

Kimi No Na Wa (Your Name) - Review

The Great Wall - Review